Ads 468x60px

http://1.bp.blogspot.com/-demV6HQYNk4/TvGGVRQEw-I/AAAAAAAAG4U/b8JeSzAPYDA/s1600/GoDaddy_banner_468x60.gif

Sabtu, 15 Mei 2010

Banyak Perempuan Tidak Bahagia Setelah Menikah

Perempuan Indonesia, terutama setelah menikah, banyak yang tidak bahagia dengan kehidupannya. Pendapat ini bisa saja sangat subyektif. Namun realitasnya tak sulit ditemukan dalam keseharian karena perempuan tidak mendapatkan hak bersuara. Contohnya saat diminta pendapatnya bahkan dalam relasi keluarga.

Kasmawati AP, dari unit kerja lembaga masyarakat kementrian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, mengutarakan pengalamannya tentang persepsi terhadap perempuan di Indonesia. Namun masih dibutuhkan penelitian lebih valid untuk menjawab persoalan ini, kata Kasmawati.

Menurutnya, munculnya pendapat tersebut di atas disebabkan kondisi perempuan di Indonesia dan terutama di kawasan Asia menunjukkan gejala yang sama.

Perempuan masih dalam posisi terlemahkan dan termarjinalkan. Tak hanya dalam relasi suami-istri, namun juga dalam kesehatan fisik maupun psikis. Perempuan tidak mendapatkan akses informasi yang cukup untuk memahami haknya. Kondisi ini membuat perempuan semakin tidak bahagia, karena tidak berkesempatan memperoleh hak bahkan untuk menyampaikan pendapatnya.

Kasmawati menyebut contoh dari perbincangannya dengan perempuan asal Singapura, untuk membuktikan bahwa banyak perempuan menjadi tidak bahagia setelah menikah.

“Seorang istri tidak diminta pendapatnya oleh suami tentang berbagai hal, termasuk setelah bercinta misalnya. Pasangan tidak merasa perlu bertanya apakah perempuan terpuaskan atau tidak. Perempuan tidak diberikan kesempatan menyampaikan pendapat, dan mendapatkan haknya,” jelas Kasmawati.

Contoh sederhana ini hanya sebagian kecil dari persoalan hak perempuan, yang seringkali terabaikan. Penyebabnya adalah perempuan tidak mendapatkan kesempatan memahami haknya sebagai individu. Belum lagi bicara mengenai hak reproduksi, termasuk kehamilan dan kelahiran anak.

sumber: Editor: din, Perempuan Indonesia, terutama setelah menikah, banyak yang tidak bahagia dengan kehidupannya. Pendapat ini bisa saja sangat subyektif. Namun realitasnya tak sulit ditemukan dalam keseharian karena perempuan tidak mendapatkan hak bersuara. Contohnya saat diminta pendapatnya bahkan dalam relasi keluarga.

Kasmawati AP, dari unit kerja lembaga masyarakat kementrian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, mengutarakan pengalamannya tentang persepsi terhadap perempuan di Indonesia. Namun masih dibutuhkan penelitian lebih valid untuk menjawab persoalan ini, kata Kasmawati.

Menurutnya, munculnya pendapat tersebut di atas disebabkan kondisi perempuan di Indonesia dan terutama di kawasan Asia menunjukkan gejala yang sama.

Perempuan masih dalam posisi terlemahkan dan termarjinalkan. Tak hanya dalam relasi suami-istri, namun juga dalam kesehatan fisik maupun psikis. Perempuan tidak mendapatkan akses informasi yang cukup untuk memahami haknya. Kondisi ini membuat perempuan semakin tidak bahagia, karena tidak berkesempatan memperoleh hak bahkan untuk menyampaikan pendapatnya.

Kasmawati menyebut contoh dari perbincangannya dengan perempuan asal Singapura, untuk membuktikan bahwa banyak perempuan menjadi tidak bahagia setelah menikah.

“Seorang istri tidak diminta pendapatnya oleh suami tentang berbagai hal, termasuk setelah bercinta misalnya. Pasangan tidak merasa perlu bertanya apakah perempuan terpuaskan atau tidak. Perempuan tidak diberikan kesempatan menyampaikan pendapat, dan mendapatkan haknya,” jelas Kasmawati.

Contoh sederhana ini hanya sebagian kecil dari persoalan hak perempuan, yang seringkali terabaikan. Penyebabnya adalah perempuan tidak mendapatkan kesempatan memahami haknya sebagai individu. Belum lagi bicara mengenai hak reproduksi, termasuk kehamilan dan kelahiran anak.

sumber: Editor: din,
kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar